Berita
UIN SATU TULUNGAGUNG

Studium General Studium General Pascasarjana IAIN Tulungagung

(IAIN Tulungagung) Derasnyaarus globalisasi ‘memaksa’ Perguruan Tinggi Agama Islam menghadapi dua tantangan besar, yakni tantangan kelembagaan dan tantangan penguatan materi pendidikan. Menghadapi dua tantangan besar itu, PTAI harus mampu memformulasikan diri ramah pasar (market friendly) namun dengan tetap mempertahankan identitas Islamnya. Di samping itu, PTAI juga harus dalam garis kontinum dengan peneguhan prinsip bahwa esensi pendidikan bermuara pada penguatan tiga aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hal itu disampaikan oleh Akh. Muzakki, M.Ag, Grad Dip SEA, M.Phil, Ph.D  pada acara Studium General Orientasi Program Studi bagi Mahasiswa Baru dalam Rangka Kuliah Perdana Pascasarjana (S-2) IAIN Tulungagung pada Senin, 15 September 2014. Acara yang dihelat di Aula Lantai 3 Gedung Rektorat IAIN Tulungagung itu dihadiri oleh 176 mahasiswa baru Pascasarjana IAIN Tulungagung.

Lebih lanjut Akh. Muzakki menyebutkan bahwa dalam konteks tantangan kelembagaan terdapat dua kategori pendidikan yang menyeruak ke permukaan, pendidikan yang dikendalikan oleh pasar (market-driven education) dan pendidikan yang berorientasi menciptakan pasar (market-creation based education). Pada kategori pertama, pendidikan diombang-ambingkan oleh selera pasar (masyarakat) menyusul pergerakannya yang didikte oleh kepentingan pasar itu sendiri. Dalam konteks ini, kualitas layanan pendidikan mesti disesuaikan dengan tuntutan konsumen, masyarakat. Memang, dari sisi kepentingan material, market driven education ini lebih menguntungkan, tetapi ancamannya jelas, pendidikan bisa kehilangan identitas, termasuk idealisme dalam penciptaan masyarakat (pasar).

Adapun kategori pendidikan kedua, market creation-based mampu menjaga identitasnya, menyusul penjagaan terhadap idealismenya. Namun tantangan yang harus dihadapi tampak sangat nyata, yakni rendahnya tingkat serapan dan konsumsi masyarakat terhadap pendidikan model ini sebagai akibat terdapatnya jarak antara layanan pendidikan dan selera pasar.

“Dalam konteks PTAI, tantangan kelembagaan ini memunculkan isu krusial berupa perdebatan seputar “jenis kelamin” kelembagaan ini,” jelas Dekan FISIP dan FEBI UIN Sunan Ampel ini. Kekuatan pertama merespon kekuatan pasar dengan berupaya melakukan transformasi dari STAIN ke IAIN, dan dari IAIN ke UIN. Pandangan ini lebih dekat ke kategori market driven education. Sedangkan pada kutub yang berbeda, justru berkeinginan untuk tetap mempertahankan eksistensi kelembagaan IAIN tanpa tergoda sedikitpun untuk menjadi UIN. Pada kutub ini dapat dikategorikan sebagai market creation-based.

“Faktanya, transformasi IAIN ke UIN ternyata tidak memberikan dampak signifikan secara kelembagaan pada fakultas-fakultas agama di UIN. Input mahasiswa tetap tidak beranjak naik, baik dalam pengertian kuantitas maupun kualitas. Pun kondisi yang sama terjadi di STAIN maupun IAIN. Tanpa inovasi dan kreativitas maka bisa dipastikan proses gulung tikar bagi program studi dan fakultas sepi peminat hanya menunggu waktu semata”, tegas doktor alumnus The University of Queensland ini. Akh. Muzakki meyakinkan bahwa satu-satunya solusi dalam konteks kelembagaan adalah PTAI harus ramah pasar (market friendly) tanpa kehilangan jatidiri. Inovasi dan kreativitas pemangku lembaga dalam wujud evaluasi kebutuhan pasar (need assesment) harus menjadi agenda utama.

Dalam konteks tantangan penguatan materi pendidikan, PTAI harus mewaspadai kecenderungan merebaknya budaya instan (dan konsumerisme) di kalangan masyarakat. Lembaga pendidikan acapkali terperangkap dalam kepentingan kapital sehingga menggadaikan proses pendidikan. “Meskipun halal dalam mendulang kapital dalam penyelenggaraan pendidikan, PTAI harus tetap memiliki misi utama berupa membebaskan individu-individu dari keterbelakangan intelektual, emosional-spiritual, dan tindak praktis sosial-individual. Semangat dan orientasi inilah yang membedakan pendidikan tinggi agama Islam dari pendidikan kapitalis,” terang Akh. Muzakki.

Pada kesempatan yang sama, Prof. Dr. H. Achmad Patoni, M.Ag, Direktur Pascasarjana IAIN Tulungagung dalam sambutannya menegaskan bahwa IAIN Tulungagung khususnya Program Pascasarjana memiliki komitmen untuk selalu melakukan need assesment dalam rangka mencandra kebutuhan pasar (masyarakat), tanpa mengabaikan identitas pendidikan Islam. “IAIN Tulungagung secara kreatif dan inovatif telah mencoba menjadi lembaga pendidikan yang market friendly tanpa harus kehilangan jatidiri”, kata Achmad Patoni. Hal ini ditunjukkan dengan diselenggarakannya enam program studi pada Pascasarjana IAIN Tulungagung. Keenam program studi itu adalah Pendidikan Islam, Hukum Ekonomi Islam, Ilmu Al-qur’an dan Tafsir, Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Bahasa Arab, dan Program Studi Ilmu Pendidikan Dasar Islam. Program studi-program studi itu merupakan jawaban terhadap kebutuhan masyarakat di samping merupakan wujud betapa IAIN Tulungagung tidak lupa terhadap jatidiri sebagai lembaga pendidikan Islam.

Studium general tersebut juga dihadiri 5 orang mahasiswa baru dari Thailand. Kelima mahasiswa baru pascasarjana tersebut tiga orang lulusan S-1 dari universitas dalam negeri Thailand dan 2 orang lulusan Al Azhar University  Kairo Mesir. Mereka menyebar di prodi Menejemen Pendidikan Islam, Ilmu Pendidikan Dasar Islam, Pendidikan Bahasa Arab dan Hukum Ekonomi Syari'ah. Pada akhir arahannya Direktur Pascasarjana menyampaikan agar para mahasiswa baru pascasarjana benar-benar menggunakan waktunya dengan baik sehingga bisa mendalami keilmuan sesuai program studi masing-masing dan agar bisa menyelesaikan studi tepat waktu.